Thursday, March 10, 2011

Biarkan Jenggot Anda Tumbuh


Biarkan Jenggot Anda Tumbuh
Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al ‘Ashimi

Daftar Isi :
1. Dalil-Dalil Wajibnya Memelihara Jenggot Dan Memangkas Kumis.
2. Hukum Memotong, Mencabut, Atau Mencukur Jenggot.
3. Larangan Dan Bahaya Menyerupai Orang Kafir.
4. Pada Diri Rasulullah b Telah Ada Suri Tauladan Yang Baik.
Dalil-Dalil Wajibnya Memelihara Jenggot Dan Memangkas Kumis
Segala puji bagi Allah saja, shalawat dan salam tetap tercurah pada Nabi Muhammad b
yang tidak ada Nabi lagi setelahnya.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanya dan juga selain mereka :
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا
الشَّوَارِبَ. ﴿ البخاري ﴾
Dari Nafi’ dan Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma berkata : Telah bersabda Rasulullah b :
“Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, yaitu banyakkanlah jenggotmu dan
pangkaslah kumismu.”
وَلَهُمَا عَنْهُ أَيْضًا : أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوْا اللِّحَى. وَفِيْ رِوَايَةٍ : انْهَكُوا الشَّوَارِبَ
وَأَعْفُوا اللِّحَى.
Diriwayatkan juga oleh keduanya dari Abdullah bin Umar radliyallahu 'anhuma :
“Pangkaslah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian tumbuh.” Dalam suatu riwayat lain :
“Cukurlah kumis kalian dan biarkan tumbuh jenggot kalian.”
PDF created with FinePrint pdfFactory trial version http://www.softwarelabs.com
Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net
[Upaya Meniti Jejak Generasi Terbaik]
2
اللِّحَى ﴾ ﴿ adalah nama rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu.
Berkata Ibnu Hajar :
وفروا ﴾ ﴿ dengan tasydid di fak-nya : ﴾ ﴿ وَفِّرُوْا
Berasal dari ﴾ التّوْفِيْرُ ﴿ : Yaitu membiarkan, maksudnya biarkanlah banyak.
Dan ﴾ إِعْفَاءُ اللِّحَى ﴿ : Yaitu biarkanlah sebagaimana adanya.
Adapun perintah untuk menyelisihi orang-orang musyrik sebagaimana dijelaskan oleh hadits
dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu :
“Sesungguhnya orang musyrik itu, mereka membiarkan kumis mereka tumbuh dan
mencukur jenggot mereka. Maka bedakanlah dengan mereka yaitu biarkanlah jenggot
kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian.” (Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad
yang hasan)
Dari Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh Muslim :
Rasulullah b bersabda : “Bedakanlah kalian dengan orang-orang Majusi, karena
sesungguhnya mereka (orang-orang Majusi) memendekkan jenggot dan memanjangkan
kumisnya.”
Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu, dia berkata :
Rasulullah b telah menyebutkan tentang orang-orang Majusi. Beliau bersabda :
“Sesungguhnya mereka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot maka bedakanlah
kalian dengan mereka.” Lalu beliau (Rasulullah b) menampakkan pemotongan kumisnya
kepadaku (Ibnu Umar).
Dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah b : “Termasuk
fitrah Islam, memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh. Sesungguhnya orangorang
Majusi membiarkan kumisnya dan mencukur jenggotnya. Maka bedakanlah dengan
mereka, yaitu pangkaslah kumis kalian dan biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”
Di dalam Shahih Muslim dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma dari Nabi b sesungguhnya
beliau bersabda :
PDF created with FinePrint pdfFactory trial version http://www.softwarelabs.com
Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net
[Upaya Meniti Jejak Generasi Terbaik]
3
أُمِرْنَا بِإِحْفَاءِ الشّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
“Kami diperintah untuk memangkas kumis dan membiarkan tumbuh jenggot.”
Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, bersabda Rasulullah b
:
جَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى.
“Potonglah kumis kalian dan panjangkanlah/biarkanlah jenggot kalian.”
Makna ﴾ جَزُّوْا ﴿ dan ﴾ قَصُّوْا ﴿ adalah potonglah.
Dan makna ﴾ أَرْخُوا ﴿ dan ﴾ طَيّلُوْا ﴿ adalah panjangkanlah atau diartikan juga,
biarkanlah.
Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan lafadh ﴾ قَصُّوْا = pangkaslah ﴿, maka :
Tidak meniadakan ﴾ اْلإِحْفَاءُ = mencukur ﴿.
Karena sesungguhnya riwayat ﴾ اْلإِحْفَاءُ ﴿ ada di dalam Bukhari-Muslim dan sama
maksudnya.
Dalam suatu riwayat :
أَوْفُوْا اللِّحَى
“Biarkanlah/banyakkanlah jenggot kalian.”
Maksudnya : “Biarkanlah jenggot kalian penuh.”
PDF created with FinePrint pdfFactory trial version http://www.softwarelabs.com
Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net
[Upaya Meniti Jejak Generasi Terbaik]
4
Hukum Memotong, Mencabut, Atau Mencukur Jengot
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Diharamkan mencukur jenggot.”
Berkata Al Qurthubi rahimahullah : “Tidak boleh memotong, mencabut, dan mencukurnya.”
Abu Muhammad Ibnu Hazm menceritakan bahwa menurut ijma’, menggunting kumis dan
membiarkan jenggot tumbuh adalah fardlu dengan dalil hadits Ibnu Umar radliyallahu 'anhu
:
“Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot
kalian tumbuh.”
Dan dengan hadits Zaid bin Arqam secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah b) :
“Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya maka bukan termasuk golongan kami.”
(Dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Dengan dalil yang lain, Tirmidzi berkata di dalam Al Furu’ : “Bentuk kalimat ini menurut
shahabat kami (yang sepakat dengan Tirmidzi) menunjukkan keharaman.” Dan berkata
pula dalam Al Iqna’ : “Haram mencukur jenggot.”
Diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma, Nabi b bersabda :
“Barangsiapa membikin seperti rambut maka tidak ada baginya di sisi Allah bagian.”
Berkata Zamakhsyari : “Maknanya membikin rambut seperti yang asli (rambut palsu, ed.),
yaitu dengan mencabutnya atau mencukurnya dari kedua pipi atau merubahnya dengan
menghitamkan.”
Berkata pula Zamakhsyari dalam An Nihayah :
مَثّلَ بِالشّعْرِ ﴾“ ﴿ : Yaitu mencukurnya dari kedua pipi dan dikatakan mencabutnya atau
merubahnya dengan hitam.
PDF created with FinePrint pdfFactory trial version http://www.softwarelabs.com
Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net
[Upaya Meniti Jejak Generasi Terbaik]
5
Larangan Dan Bahaya Menyerupai Orang Kafir
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu, dia berkata :
Telah bersabda Rasulullah b : “Biarkanlah jenggot kalian tumbuh dan cukurlah kumis
kalian dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashara.”
Al Bazzar telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma secara marfu' :
“Janganlah kalian menyerupai orang-orang Ajam, biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”
Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu dia berkata :
Telah bersabda Rasulullah b : “Barangsiapa menyerupai dengan suatu kaum maka dia
termasuk golongan mereka.”
Dan riwayat Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dari Rasulullah b,
Nabi b bersabda :
“Bukanlah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyerupai selain kami, janganlah
kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashara.”
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Maka bedakanlah diri dengan
mereka (yahudi dan nashara)! Adalah perintah yang dikehendaki oleh pembuat syariat
(Allah).”
Penyerupaan pada dhahir akan berpengaruh/menimbulkan kasih, cinta, dan kesetiaan
dalam batin sebagaimana kecintaan dalam batin akan berpengaruh/menimbulkan
penyerupaan dalam dhahir dan ini adalah masalah yang nyata, baik secara perasaan atau
dalam praktik nyata.
Penyerupaan dengan mereka pada perkara yang tidak disyariatkan bisa jadi sampai pada
pengharaman atau termasuk dosa dari dosa-dosa besar (Al Kabair) dan terjadinya kekafiran
sesuai dengan dalil syar'iyyah.
Sungguh Al Qur'an dan As Sunnah serta ijma' telah menunjukkan perintah untuk
menyelisihi orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka secara keseluruhan.
Suatu perkara yang diduga sebagai tempat terjadinya kerusakan yang terselubung (dimana
hal tersebut) tidak ditegaskan (oleh syar'i) berarti ketetapan hukumnya dikaitkan pada
perkara di atas dan dalil tentang pengharamannya telah mengena (tidak terlepas) dari
masalah tersebut. Maka menyerupai mereka dalam bentuk dhahir merupakan penyebab
penyerupaan dalam akhlak, perbuatan-perbuatan yang tercela, bahkan sampai pada i'tiqad
PDF created with FinePrint pdfFactory trial version http://www.softwarelabs.com
Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net
[Upaya Meniti Jejak Generasi Terbaik]
6
(keyakinan). Sedang pengaruh dari yang demikian itu tidak ditegaskan (oleh syar'i). Dan
kerusakan itu sendiri --yang dihasilkan dari sikap penyerupaan-- terkadang hal tersebut
tidak nampak dan terkadang sulit (untuk dihindari) atau tidak mudah untuk dihilangkan.
Maka segala sesuatu yang menyebabkan pada kerusakan (fasaad), pembuat syariat (Allah
‘Azza wa Jalla) mengharamkannya.
Dan diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu 'anhu :
“Barangsiapa yang menyerupai mereka sampai meninggal (mati) dia akan dibangkitkan
bersama mereka.”
Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah b bersabda :
“Bukanlah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyerupai selain kami, janganlah
kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashrani. Sesungguhnya cara salamnya orangorang
yahudi dengan isyarat jari-jemari dan cara salamnya orang-orang nashrani dengan
telapak tangan.”
Ada tambahan dari sisi Thabrani :
“Janganlah kalian mencukur jambul (rambut yang tumbuh di kepala bagian depan),
pangkaslah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot kalian tumbuh.”
Umar radliyallahu 'anhu memberi syarat (tanda) atas orang-orang kafir dzimmah supaya
mencukur rambut yang tumbuh di kepala bagian depan untuk membedakan mereka dengan
orang-orang Muslim. Maka barangsiapa mengerjakan yang demikian itu, sungguh telah
menyerupai mereka.
Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan :
“Sesungguhnya Rasulullah b melarang dari Al Qazu', yaitu mencukur rambut di kepala
sebagian dan meninggalkannya sebagian.”
Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu :
“Tentang (mencukur rambut) kepala, cukurlah keseluruhan atau tinggalkanlah.”
(Diriwayatkan oleh Abu Daud)
Mencukur rambut pada bagian belakang dari kepala (tengkuk) tidak boleh bagi orang yang
tidak mencukur rambutnya keseluruhan dan tidak ada suatu kepentingan dengan
mencukurnya itu. Karena yang demikian itu termasuk perbuatan orang-orang majusi. Dan
barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.
Telah meriwayatkan Ibnu ‘Assakir dari Umar radliyallahu 'anhu :
PDF created with FinePrint pdfFactory trial version http://www.softwarelabs.com
Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net
[Upaya Meniti Jejak Generasi Terbaik]
7
“Mencukur rambut pada bagian belakang kepala (tengkuk) bukan karena berbekam adalah
perbuatan majusi.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencegah untuk mengikuti hawa nafsu mereka. Maka Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia)
dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah : 77)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada Nabi b :
“Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang dhalim.” (QS. Al
Baqarah : 145)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Mengikuti mereka pada perkara
yang mereka khususkan dari agama mereka. Dan mengikuti agama mereka berarti
mengikuti hawa nasfu mereka.”
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan bahwasanya salah seorang dari majusi datang kepada
Rasulullah b, dia sungguh telah mencukur jenggotnya dan memanjangkan kumisnya. Maka
bertanya Rasulullah b pada orang tersebut, apa yang menyebabkan berbuat demikian, dia
menjawab : “Ini agama kami.” Bersabda Rasulullah b (adalah jenggot beliau penuh dari
sini sampai sini dan menunjuk tangannya pada Rasulullah b) : “Akan tetapi pada agama
kami, yaitu memangkas kumis dan membiarkan jenggot tumbuh.”
Harits bin Abi Usamah telah mengeluarkan dari Yahya bin Katsir, dia berkata : Telah datang
seorang laki-laki 'ajam ke masjid dan sungguh dia telah memanjangkan kumisnya dan
menggunting jenggotnya. Maka bersabda (bertanya) Rasulullah b pada orang tersebut :
“Apa yang membawa kamu (menyuruh kamu) atas ini?” Maka orang tersebut menjawab :
“Sesungguhnya rab (raja) saya yang memerintah saya dengan ini.” Maka Rasulullah b
bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan agar memanjangkan jenggot dan
memangkas kumis saya.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zaid bin Habib kisahnya dua utusan kisra (kaisar), berkata
Zaid bin Habib : Telah masuk dua utusan tersebut kepada Rasulullah b dan sungguh
keduanya telah mencukur jenggot dan memelihara kumisnya, maka Rasulullah b
memandang dengan benci kepada keduanya dan bersabda : “Celakalah kalian berdua.
Siapakah yang menyuruh kalian dengan ini.” Kedua orang tersebut menjawab : “Yang
memerintahkan kami adalah rab kami (yaitu kaisar).”
Maka bersabdalah Rasulullah b :
PDF created with FinePrint pdfFactory trial version http://www.softwarelabs.com
Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net
[Upaya Meniti Jejak Generasi Terbaik]
8
“Akan tetapi Rabbku memerintahkan untuk memelihara jenggotku dan memotong
kumisku.”
Muslim meriwayatkan dari Jarir radliyallahu 'anhu, ia berkata :
“Adalah Rasulullah b banyak rambut jenggotnya.”
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Umar radliyallahu 'anhu : “(Rasulullah b) itu tebal
jenggotnya.” Dan dalam suatu riwayat : “Banyak jenggotnya.” Dan dalam riwayat lain :
“Lebat jenggotnya.”
Dari Anas radliyallahu 'anhu : “Adalah Rasulullah b, jenggotnya penuh dari sini sampai sini
--menunjuk dengan tangannya pada lebarnya--.”
Sebagian ahli ilmu membolehkan (memberikan keringanan) dalam masalah mengambil
(memotong) jenggot yang lebih dari genggaman dengan dasar yang dilakukan oleh Ibnu
Umar radliyallahu 'anhu1. Namun kebanyakan ulama membencinya (mengambil yang lebih
dari genggaman). Dan ini sudah jelas dengan (keterangan) yang terdahulu.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah : “Yang terpilih yaitu membiarkan atas keadaannya,
yakni tidak memendekkan sesuatu dari jenggot secara asal.”
Al Khatib telah mengeluarkan dari Abi Said radliyallahu 'anhu bahwa : Bersabda Rasulullah
b : “Janganlah salah satu di antara kalian memotong dari panjang jenggotnya.”
Dalam kitab Ad Darul Mukhtar disebutkan : “Adapun memotong dari jenggot itu bukan
menggenggam sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Maghrib dan para banci dari
kaum laki-laki, maka tidak seorang pun yang membolehkannya.”
1 Hujjah ada dalam riwayat, bukan pada pendapatnya. Tidak ragu lagi bahwa sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam dan perbuatannya lebih benar dan lebih utama untuk diikuti daripada perkataan dan
perbuatan selain beliau dari manusia yang ada ini. Dengarkanlah salah satu dari kasetnya Al Allamah Al
Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani tentang bahasan ini.
PDF created with FinePrint pdfFactory trial version http://www.softwarelabs.com
Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net
[Upaya Meniti Jejak Generasi Terbaik]
9
Pada Diri Rasulullah b Ada Suri Tauladan Yang Baik
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berpaling daripada-Nya sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya). Dan janganlah
kamu menjadi orang-orang (munafik) yang berkata : “Kami mendengarkan.” Padahal
mereka tidak mendengarkan.” (QS. Al Anfal : 20-21)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An Nur : 63)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam jahanam dan jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa' : 115)
Allah ‘Azza wa Jalla memperindah para laki-laki dengan jenggot. Dan diriwayatkan termasuk
tasbihnya para Malaikat :
“Maha Suci (Allah) yang telah menghiasi orang laki-laki dengan jenggot.”
Dikatakan di dalam At Tamhid :
“Haram mencukur jenggot, tidaklah ada yang berbuat demikian (mencukur jenggot) kecuali
banci dari (kalangan) laki-laki.”
Imam Nawawi rahimahullah dan yang lain berkata :
· Jenggot adalah perhiasan laki-laki dan merupakan kesempurnaan ciptaan.
· Dengan jenggot, Allah membedakan antara laki-laki dan perempuan dan termasuk
tanda-tanda kesempurnaan, maka mencabut pada awal tumbuhnya adalah
PDF created with FinePrint pdfFactory trial version http://www.softwarelabs.com
Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net
[Upaya Meniti Jejak Generasi Terbaik]
10
menyerupai anak laki-laki yang belum tumbuh jenggotnya dan merupakan
kemungkaran yang besar.
· Demikian juga mencukur, menggunting, atau menghilangkan dengan obat penghilang
rambut termasuk kemungkaran yang paling jelas dan kemaksiatan yang tampak
nyata, menyelisihi perintah Rasulullah b serta terjerumus kepada perkara yang
Rasulullah b melarangnya.
Telah berkata dan bersaksi bahwa seorang laki-laki yang mencabut rambut di bawah
bibirnya di sisi Umar bin Abdul Aziz maka beliau menolak persaksiannya. Umar bin
Khaththab radliyallahu 'anhu dan Ibnu Abi Layla (seorang qadli di Madinah) menolak
persaksian semua orang yang mencabut jenggotnya. Berkata Abu Syamah : “Sungguh telah
terjadi pada suatu kaum yang mereka itu mencukur jenggotnya dan kejadian ini lebih parah
dari apa-apa yang terdapat pada Majusi (yang mereka itu memendekkan jenggot dan
memanjangkan kumisnya) disebabkan mereka mencukur jenggotnya.”
Ini pada jaman Abu Syamah rahimahullah, bagaimana seandainya jika beliau melihat masa
sekarang (dimana) lebih banyak orang yang melakukannya.
Apa yang menimpa mereka? Dilaknati Allah-lah mereka. Maka bagaimana mereka
berpaling?
Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan mereka mencontoh Rasul-Nya sementara mereka
menyelisihinya dan mereka bermaksiat kepadanya. Mereka mencontoh orang-orang Majusi
dan orang-orang kafir. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan mereka agar taat kepada Rasul-
Nya dan sungguh telah bersabda Rasulullah b :
أعْفُو اللِّحَى
“Peliharalah jenggot.”
Sementara mereka bermaksiat kepada Rasulullah b dan mereka bermaksud dengan
sengaja mencukur jenggotnya.
Rasulullah b memerintahkan untuk mencukur kumis, mereka memanjangkannya, mereka
melakukan yang sebaliknya. Mereka bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla secara terangterangan
dengan melakukan apa yang tidak tepat pada tempatnya.
Dan yang Allah ‘Azza wa Jalla memperindah dengannya adalah paling mulia dan indahnya
sesuatu dari manusia.
“Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap pekerjaannya yang buruk itu
baik (sama dengan orang yang tidak ditipu syaithan)? Maka sesungguhnya Allah
PDF created with FinePrint pdfFactory trial version http://www.softwarelabs.com
Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net
[Upaya Meniti Jejak Generasi Terbaik]
11
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.”
(QS. Faathir : 8)
Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada Engkau dari butanya hati, kotornya dosadosa,
kehinaan dunia, dan siksa akhirat.
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orangorang
pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. Kalau kiranya Allah mengetahui
kebaikan ada pada mereka tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan
jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar niscaya mereka pasti berpaling juga
sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (QS. Al Anfal : 22-
23)
Dan dalam hal ini cukuplah bagi orang yang mempunyai hati dan mendengarkan serta dia
dalam keadaan menyaksikan.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk dan
barangsiapa yang disesatkan-Nya maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin
pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al Kahfi : 17)
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَّاب
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ
PDF created with FinePrint pdfFactory trial version http://www.softwarelabs.com

Di Antara Aqidah Syi'ah


APA KEYAKINAN ORANG RAFIDHAH TERHADAP NAJAF DAN KARBALA ? DAN APA KEUTAMAAN MENZIARAHINYA MENURUT MEREKA ?


Orang syi’ah sungguh telah menjadikan tempat-tempat perkuburan imam-imam mereka baik imam dakwaan mereka belaka atau hakiki, sebagai tempat yang haram dan suci (seperti haram Makkah) : maka kota Kufah adalah haram, Karbala haram, Qum haram. Dan mereka meriwayatkan dari As Shidiq : “Sesungguhnya Allah memiliki haram yaitu kota Mekkah, dan Rasulullah memilik haram yaitu kota Madinah, dan Amirul mukminin memiliki haram yaitu kota Kufah dan kita memiliki haram yaitu Qum.

Karbala menurut mereka lebih afdhol (utama) dari Ka’bah. Hal ini tercantum dalam kitab “Al Bihaar” dari Abi Abdillah bahwasanya ia berkata : “sesungguhnya Allah telah mewahyukan ke Ka’bah; kalaulah tidak karena tanah Karbala, maka Aku tidak akan mengutamakanmu, dan kalaulah tidak karena orang yang dipeluk oleh bumi Karbala (Husain), maka Aku tidak akan menciptakanmu, dan tidaklah Aku meciptakan rumah yang mana engkau berbangga dengannya, maka tetap dan berdiamlah kamu, dan jadilah kamu sebagai dosa yang rendah, hina, dina, dan tidak congkak dan sombong terhadap bumi Karbala, kalau tidak, pasti Aku telah buang dan lemparkan kamu ke dalam Jahanam. [1]

Dan tercantum juga di dalam kitab “Al Mazaar” karangan Muhammad An Nu’man yang diberi gelar dengan syeikh Mufid, di dalam Bab “Ucapan saat berdiri di atas kuburan” yaitu orang yang menziarahi kuburan Husain mengisyaratkan dengan tangan kanannya sambil mengucapkan doa yang panjang, diantaranya :

“Saya datang berziarahmu, untuk mencari keteguhan kaki di dalam berhijrah kepadamu, dan sungguh saya telah meyakini bahwasanya Allah Jalla Tsanaauhu, dengan lantaranmu Dia melapangkan kesulitan, dan dengan lantaranmu Dia menurunkan Rahmat, dan dengan lantaranmu Dia menahan bumi yang jatuh bersama penduduknya, dengan lantaramu Allah mengokohkan gunung-gunung di atas pondasinya, dan sungguh saya telah menghadap (munajat) kepada Rabbku, bahwa dengan lantaranmu wahai tuanku untuk menyelesaikan hajat kebutuhan dan keampunan dosa-dosaku.”

Dan tercantum dalam kitab “Al Mazaar” tentang keutamaan kota Kufah, dari Ja’far Al Shodiiq ia berkata : “Tempat yang paling mulia (utama) setelah haram Allah dan haram rasul-Nya adalah kota Kufah, karena kota Kufah Suci bersih, di sana terdapat kuburan para nabi dan rasul dan ahli wasiat yang jujur, dan di sana terlihat keadilan Allah, dan di sana datang Qaimah (penegak) dan pengegak-penegak setelahnya, Kota Kufah itu tempat turunnya para nabi dan ahli wasiat serta orang-orang yang sholeh [2].

Lihatlah wahai pembaca yang budiman, bagaimana mereka itu jatuh dalam kesyirikan, karena mereka meminta kepada selain Allah dalam menyelesaikan dan memenuhi hajat kebutuhan, meminta dan memohon pengampunan dosa-dosa kepada manusia, bagaimana mungkin hal itu terjadi, sedangkan Allah telah berfirman :

“Artinya : Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah” [Ali Imran : 135]

Kita berlindung dengan Allah dari perbuatan syirik.

_________
Foote Note
[1] Kitab Al Bihaar : (10/107)
[2] Kitab Al Mazaar, karangan Muhammad An Nu’man yang diberi gelar dengan syeikh Mufid, hal : 99.

Semua Sahabat Rasulullah Adalah Adil Dan Haram Hukumnya Mencaci Mereka






[A].TAQDIM
Para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang telah mendapatkan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka telah berjuang bersama Rasulullah untuk menegakkan Islam dan mendakwahkannya keberbagai pelosok negeri, sehingga kita dapat merasakan ni'matnya iman dan Islam.

Perjuangan mereka dalam li'ila-i kalimatillah telah banyak menelan harta dan jiwa. Mereka adalah manusia yang sepenuhnya tunduk kepada Islam, benar-benar membela kepentingan umat Islam, setia kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa kompromi, mereka tunduk kepada hukum-hukum agama Allah, tujuan mereka adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah dan Sorga-Nya.

Model dan corak kehidupan masyarakat Islam terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari, model masyarakat Islam seperti yang tercermin dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah benar-benar dipraktekkan oleh mereka dan hal yang seperti ini belum pernah kita jumpai dalam sejarah umat sejak dulu sampai hari ini. Hidup mereka dilandasi Iman, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka selalu berjalan dalam prinsip-prinsip yang telah digariskan Allah.

Persoalan 'Adalatus Shahabah (Keadilan Shahabat) sudah diyakini oleh umat Islam dari masa Shahabat sampai hari ini, bahwa merekalah orang-orang yang adil dan benar. Tetapi dalam rangkaian sejarah yang panjang ada saja kelompok yang selalu merongrong eksitensi perjuangan mereka bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kelompok/golongan ini mengaku diri mereka "Islam" ? Mereka lebih terkenal dengan nama "kelompok Syi'ah atau agama Syi'ah" karena aqidah mereka berbeda dengan aqidah kaum muslimin. Agama Syi'ah yang dianut sekarang ini adalah Agama Syi'ah Immamiyah Itsna 'Asy'ariyah. Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asy'ariyah sejak dulu sampai hari ini telah sepakat mengkafirkan ketiga Khulafa'ur Rasyidin (mengecualikan Ali bin Abi Thalib) dan semua shahabat sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali 3 atau 4 shahabat.

Semua buku-buku mereka dipenuhi dengan caci makian, penghinaan, dan laknat kepada Khulafa'ur Rasyidin dan shahabat-shahabat yang lainnya. Di dalam kitab Al-Furu'ul Kaafi jilid 3 fatsal Kitabur Raudhah hal.115 karangan Al-Kulaini disebutkan : Bahwa ada seorang murid Muhammad Al-Baqir bertanya tentang Abu Bakar dan Umar. Lalu ia jawab : "Tidak ada seorangpun yang mati dari kalangan kami (Syi'ah) melainkan benci dan murka kepada Abu Bakar dan Umar". Bahkan Khumaini dalam kitabnya Kasyful Asrar hal. 113-114 (cet. Persia) menuduh para shahabat kafir. Wal-'Iyaadzu billah. [1]

Pengikut agama Syi'ah di Indonesia yang terdiri dari cendikiawan, mahasiswa dan orang-orang awam berusaha mencari-cari kesalahan individu dan meragukan 'adalah (keadilan) mereka para shahabat, untuk menguatkan aqidah mereka yang rusak tentang shahabat dan tujuannya untuk merusak Agama Islam, karena bila shahabat sudah dicela maka otomatis Al-Qur'an dan Sunnah dicela, karena merekalah (shahabat) yang pertama kali menerima risalah Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Pengikut agama Syi'ah berusaha agar Islam ini hancur.

Membicarakan sikap dan kedudukan shahabat dan mengkritiknya berarti mengkritik Al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Meragukan keadilan mereka berarti meragukan kesaksian Allah dan pujian Allah serta pujian Rasulnya terhadap mereka.

Orang-orang Syi'ah mengkritik para shahabat dengan menggunakan portongan-potongan ayat Qur'an dan hadits Nabi untuk kepentingan hawa nafsu mereka, dan meninggalkan puluhan ayat dan ratusan hadits Nabi yang shahih yang memuji keadilan shahabat.

Standar nilai dan tolok ukur prilaku mereka yang tepat adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sebagai penguat adalah pendapat Jumhur Ulama kaum Muslimin.

Oleh karena itu penulis akan paparkan nash-nash tentang 'adalah shahabat.

[B]. DIFINISI SHAHABAT

[1]. Menurut Lughah [Bahasa].
Shahabi diambil dari kata-kata Shahabat = Persahabatan, dan bukan diambil dari ukuran tertentu yakni harus lama bersahabat, hal ini tidak demikian, bahkan persahabatan ini berlaku untuk setiap orang yang menemani orang lain sebentar atau lama. Maka dapat dikatakan seseorang menemani si fulan dalam satu masa, setahun, sebulan, sehari atau sejam. Jadi persahabatan bisa saja sebentar atau lama. Abu Bakar Al-Baqilani (338-403H) berkata : "Berdasarkan defenisi bahasa ini, maka wajib berlaku difinisi ini terhadap orang yang bersahabat dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kendatipun hanya sejam di siang hari. Inilah asal kata dari kalimat Shahabat ini". [2]

[2]. Menurut Istilah Ulama Ahli Hadits.
Kata Ibnu Katsir : "Shahabat adalah orang Islam yang bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun waktu bertemu dengan beliau tidak lama dan tidak meriwayatkan satu hadits pun dari beliau".

Kata Ibnu Katsir :" Ini pendapat Jumhur Ulama Salaf dan Khalaf (=Ulama terdahulu dan belakangan)". [3]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani melengkapi definisi Ibnu Katsir, ia Berkata :"Definisi yang paling shahih tentang Shahabat yang telah aku teliti ialah : "Orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam". Masuk dalam difinisi ini ialah orang yang bertemu dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik lama atau sebentar, baik meriwayatkan hadits dari beliau atau tidak, baik ikut berperang bersama beliau atau tidak. Demikian juga orang yang pernah melihat beliau sekalipun tidak duduk dalam majelis beliau, atau orang yang tidak pernah melihat beliau karena buta. Masuk dalam definisi ini orang yang beriman lalu murtad kemudian kembali lagi kedalam Islam dan wafat dalam keadaan Islam seperti Asy'ats bin Qais.

Kemudian yang tidak termasuk dari definisi shahabat ialah :

[a]. Orang yang bertemu beliau dalam keadaan kafir meskipun dia masuk Islam sesudah itu (yakni sesudah wafat beliau).
[b]. Orang yang beriman kepada Nabi Isa dari ahli kitab sebelum diutus Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelah diutusnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dia tidak beriman kepada beliau.
[c]. Orang yang beriman kepada beliau kemudian murtad dan wafat dalam keadaan murtad. Wal'iyaadzu billah. [4]

Keluar pula dari definisi shahabat ialah orang-orang munafik meskipun mereka bergaul dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah dan Rasul-Nya mencela orang-orang munafik, dan nifaq lawan dari iman, dan Allah memasukkan orang munafik tergolong orang-orang yang sesat kafir dan ahli neraka [Lihat : Al-Qur'an surat An-Nisaa : 137,138,141,142,143,145. Juga surat Ali Imran : 8 - 20].

Sistim mu'amalah yang diterapkan oleh Rasulullah dan para shahabat dalam bergaul dengan orang-orang munafiqin jelas menunjukan bahwa shahabat bukanlah munafiqin dan munafiqin bukanlah shahabat. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa diantara shahabat ada yang munafik !!! Ayat-ayat Al-Qur'an dengan jelas membedakan mereka :

Allah menyuruh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi orang-orang kafir dan munafiq [At-Taubah:73, At-Tahriim:9], sedangkan kepada orang-orang yang beriman , Allah menyuruh beliau menyayangi mereka [Asy-Syu'araa' :215, Al-Fath:29].

Orang-orang munafiq tidak mendapat ampunan dari Allah [At-Taubah:80, Al-Munafiquun:6], sedangkan orang-orang beriman mendapatkan ampunan dari Allah [Muhammad:19].

Nabi, para shahabat dan orang-orang yang beriman dilarang menyalatkan mayat munafiqin [At-Taubah:84] sedangkan mayat orang yang beriman wajib di shalatkan sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Dan ayat-ayat lain serta hadits yang membedakan mereka.

[3]. Pendapat Ulama Tentang Definisi Shahabat.
Definisi yang diberikan oleh Ibnu Hajar merupakan definisi Jumhur Ulama di antara mereka ialah Imam Bukhari, Imam Ahmad, Imam Madini, Al'iraqi, Al-Khatib, Al-Baghdadi, Suyuti dll. Ibnu Hajar berkata : Inilah pendapat yang paling kuat. Di antara ahli Ushul Fiqih yang berpendapat demikian Ibnul Hajib, Al-Amidi dan lain-lain. [5]

[D]. BAGAIMANA BISA DIKETAHUI SESEORANG ITU DIKATAKAN SHAHABAT ?

Kita dapat mengetahui seseorang itu dikatakan shahabat dengan :
[a]. Kabar Mutawatir seperti Khulafaur Rasyidin dan 10 orang ahli surga.
[b]. Kabar yang masyhur yang hampir mencapai derajat mutawatir seperti Dhamam bin Tsa'labah dan 'Ukkaasyah bin Mihsan.
[c]. Dikabarkan oleh seorang shahabat lain atau oleh Tabi'i Tsiqat (terpercaya) bahwa si fulan itu seorang shahabat, seperti Hamamah bin Abi Hamamah Ad-Dausiy wafat di Ashfahan. Abu Musa Al-Asy'ari menyaksikan bahwa ia (Hamamah) mendengar hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
[d].Seseorang memberitakan tentang dirinya bahwa ia adalah seorang shahabat Rasulullah dan dimungkinkan bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan menurut pemeriksaan ahli hadits bahwa ia memang seorang yang adil dan wafatnya tidak melebihi tahun 110H. [6].

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/ThI/1415-1995]
_________
Foote Note.
[1]. Lihat Shurtani Mutadhodataani oleh Abul Hasan All Al-Hasani An-Nadwi : Aqaidus Syi'ah fii Miizan hal. 85-87 oleh DR Muhammad Kamil Al-Hasyim cet. I th, 1409H/1988M
[2]. Lihat Lisanul "Arab II:7; Al-Kilayat fi 'Ilmir Riwayah hal.51 oleh Al-Khathib Al-Baghdadi ; As-Sunnah Qablat-Tadwin hal. 387.
[3]. Al-Baa'itsul Hatsits Syarah Ikhtisar 'Uluumil-Hadits Lil-Hafizh Ibnu Katsir oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir hal. 151 cet. Darut turats Th. 1399H/1979M.
[4]. Al-Ishabah fil Tanyizis-Shahabah I hal. 7-8 cet. Daarul-fikr 1398H.
[5]. Lihat Fathul Mughits 3/93-95, 'Ulumul-Hadits oleh Ibnu Shaleh hal. 146 ; At-Taqyid wal-idah Al-'Iraqi hal. 292 Alfiyah Suyuti hal. 57; Fathul Bari 7/3;Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam Lil-Amidi:83; Tanbih Dzawi Najabah ila 'Adalatis Shahabah hal. 11.
[6]. Lihat Tadribur-Rawi 2:213 oleh Imam Suyuthi cet. Daarul Maktabah ilmiyah 1399H/1979M ; Fathul-Mughits 3:140 Ushulul-Hadits 405-406.

Beberapa Contoh Bid'ah Masa Kini



Di antaranya adalah :

[A] Perayaan bertepatan dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Rabiul Awwal.
[B] Tabarruk (mengambil berkah) dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan, dan dari orang-orang baik, yang hidup ataupun yang sudah meninggal.
[C] Bid’ah dalam hal ibadah dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Bid’ah-bid’ah modern banyak sekali macamnya, seiring dengan berlalunya zaman, sedikitnya ilmu, banyaknya para penyeru (da’i) yang mengajak kepada bid’ah dan penyimpangan, dan merebaknya tasyabuh (meniru) orang-orang kafir, baik dalam masalah adat kebiasaan maupun ritual agama mereka. Hal ini menunjukkan kebenaran (fakta) sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sungguh kalian akan mengikuti cara-cara kaum sebelum kalian” [Hadits Riwayat At-Turmudzi, dan ia men-shahihkannya]


[1] Perayaan Bertepatan Dengan Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Pada Bulan Rabiul Awwal.

Merayakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah, karena perayaan tersebut tidak ada dasarnya dalam Kitab dan Sunnah, juga dalam perbuatan Salaf Shalih dan pada generasi-generasi pilihan terdahulu. Perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru terjadi setelah abad ke empat Hijriyah.

Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata : “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini mempunyai dasar dalam Kitab dan Sunnah, dan tidak pula keterangan yang dinukil bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh seorang dari para ulama yang merupakan panutan dalam beragama, yang sangat kuat dan berpegang teguh terhadap atsar (keterangan) generasi terdahulu. Perayaan itu tiada lain adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi makan” [Risalatul Maurid fi Amalil Maulid]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Begitu pula praktek yang diada-adakan oleh sebagian manusia, baik karena hanya meniru orang-orang nasrani sehubungan dengan kelahiran Nabi Isa ‘Alaihis Salam atau karena alasan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menjadikan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah perayaan. Padahal tanggal kelahiran beliau masih menjadi ajang perselisihan.

Dan hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama salaf (terdahulu). Jika sekiranya hal tersebut memang merupakan kebaikan yang murni atau merupakan pendapat yang kuat, tentu mereka itu lebih berhak (pasti) melakukannya dari pada kita, sebab mereka itu lebih cinta dan lebih hormat pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada kita. Mereka itu lebih giat terhadap perbuatan baik.

Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tercermin dalam meniru, mentaati dan mengikuti perintah beliau, menghidupkan sunnah beliau baik lahir maupun bathin dan menyebarkan agama yang dibawanya, serta memperjuangkannya dengan hati, tangan dan lisan. Begitulah jalan generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin, Anshar dan Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik” [Iqtida ‘Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/615]

[2] Tabbaruk (Mengambil Berkah) Dari Tempat-Tempat Tertentu, Barang-Barang Peninggalan, Dan Dari Orang-Orang Baik, Yang Hidup Ataupun Yang Sudah Meninggal.

Termasuk di antara bid’ah juga adalah tabarruk (mengharapkan berkah) dari makhluk. Dan ini merupakan salah satu bentuk dari watsaniyah (pengabdian terhadap mahluk) dan juga dijadikan jaringan bisnis untuk mendapatkan uang dari orang-orang awam.

Tabarruk artinya memohon berkah dan berkah artinya tetapnya dan bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu. Dan memohon tetap dan bertambahnya kebaikan tidaklah mungkin bisa diharapkan kecuali dari yang memiliki dan mampu untuk itu dan dia adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah-lah yang menurunkan berkah dan mengekalkannya. Adapun mahluk, dia tidak mampu menetapkan dan mengekalkannya.

Maka, praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan dan orang-orang baik, baik yang hidup ataupun yang sudah meninggal tidak boleh dilakukan karena praktek ini bisa termasuk syirik bila ada keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan berkah, atau termasuk media menuju syirik, bila ada keyakinan bahwa menziarahi barang-barang tersebut, memegangnya dan mengusapnya merupakan penyebab untuk mendapatkan berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun tabarruk yang dilakukan para sahabat dengan rambut, ludah dan sesuatu yang terpisah/terlepas dari tubuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung terdahulu, hal tersebut hanya khusus Rasulullah di masa hidup beliau dan saat beliau berada di antara mereka ; dengan dalil bahwa para sahabat tidak ber-tabarruk dengan bekas kamar dan kuburan beliau setelah wafat.

Mereka juga tidak pergi ke tempat-tempat shalat atau tempat-tempat duduk untuk ber-tabarruk, apalagi kuburan-kuburan para wali. Mereka juga tidak ber-tabarruk dari orang-orang shalih seperti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, Umar Radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya dari para sahabat yang mulia. Baik semasa hidup ataupun setelah meninggal. Mereka tidak pergi ke Gua Hira untuk shalat dan berdo’a di situ, dan tidak pula ke tempat-tempat lainnya, seperti gunung-gunung yang katanya disana terdapat kuburan nabi-nabi dan lain sebagainya, tidak pula ke tempat yang dibangun di atas peninggalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang mengusap-ngusap dan mencium tempat-tempat shalat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di Madinah ataupun di Makkah. Apabila tempat yang pernah di injak kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yan mulia dan juga dipakai untuk shalat, tidak ada syari’at yang mengajarkan umat beliau untuk mengusap-ngusap atau menciuminya, maka bagaimana bisa dijadikan hujjah untuk tabarruk, dengan mengatakan bahwa (si fulan yang wali) –bukan lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah shalat atau tidur disana ?! Para ulama telah mengetahui secara pasti berdasarkan dalil-dalil dari syariat Islam, bahwa menciumi dan mengusap-ngusap sesuatu untuk ber-tabarruk tidaklah termasuk syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Lihat Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim 2/759-802]

[Disalin dari buku At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani Al-‘Aliy, edisi Indonesia Kitab Tauhid-3, hal 152-159, Darul Haq]

Mengucapkan Salam Kepada Orang Kafir


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Akhir-akhir ini sebagai akibat dari iteraksi dengan barat dan timur, yang rata-rata kaum kuffar dengan berbagai latar belakang agama, kami lihat mereka berulangkali mengucapkan salam Islam kepada kita, saat kita berjumpa dengan mereka dimana saja. Bagaimana sikap kita menghadapi mereka ?


Jawaban.
Telah disebutkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Janganlah kalian memulai kaum yahudi dan jangan pula kaum nashrani dengan ucapan salam. Jika kalian menjumpai salah seorang mereka di suatu jalan, himpitlah ia ke pinggir” [Hadits Riwayat Muslim dalam As-Salam 2167]

Dalam sabda beliau yang lain disebutkan.

“Artinya : Jika ada ahli kitab yang mengucapkan salam kepada kalian maka jawablah ‘wa alaikum”. [Muttafaq ‘Alaihi : Al-Bukhari dalam Al-Istidzan 6258, Muslim dalam As-Salam 2163]

Ahli kitab adalah kaum yahudi dan nashrani. Hukum orang-orang kafir lainnya adalah seperti kaum yahudi dan nashrani dalam masalah ini, karena setahu kami tidak ada dalil yang membedakan mereka.

Dan itu, sama sekali tidak boleh memulai mengucapkan salam kepada orang kafir, jika orang kafir itu yang lebih dulu mengucapkan salam, maka kita membalasnya dengan ucapan ‘wa ‘alaikum’ sebagai pengamalan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak terlarangpula jika setelahnya kita mengatakan kepadanya, Bagaimana khabar anda ? Dan bagaimana khabar anak-anak anda ? Hal ini dibolehkan oleh sebagian ahlul ilmi, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Lebih-lebih jika hal itu bisa mendatangkan maslahat bagi Islam dan mengajaknya agar mau menerima dakwah Islam, hal ini selaras dengan firman Allah Azza wa Jalla.

“Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula” [An-Nahl : 125]

Dan firmanNya.

“Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim diantara mereka” [Al-Ankabut : 46]

[Fatawa Islamiyah, Syaikh Ibnu Baz, Juz I, hal 118]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 358-359 Darul Haq]

Permusuhan Antara Umat Islam Dengan Bangsa Yahudi





Musuh-musuh Islam dan pengikut-pengikutnya yang bodoh terus berupaya membentuk opini bahwa hakikat pertarungan dengan Yahudi adalah sebatas pertarungan memperebutkan wilayah, konflik perbatasan, persoalan pengungsi dan persoalan air. Dan bahwa persengketaan ini bisa berakhir dengan (diciptakannya suasana hidup) berdampingan secara damai, saling tukar pengungsi, perbaikan tingkat hidup masing-masing, penempatan wilayah tinggal mereka secara terpisah-pisah, dan mendirikan sebuah negara sekuler kecil yang lemah dibawah tekanan ujung-ujung tombak zionisme, yang kesemua itru (justeru) menjadi pagar-pagar pengaman bagi negara zionis.

Mereka semua tidak mengerti bahwa pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan lama, semenjak berdirinya negara Islam di Madinah dibawah kepemimpinan utusan Allah bagi seluruh manusia, yaitu Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah telah menceritakan kepada kita hakikat kedengkian dan permusuhan orang-orang Yahudi kepada Umat Islam dan Umat Tauhid (dalam firman-Nya) :

"Artinya : Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik ... [Al-Maidah : 82]

Perhatikan, bagaimana Allah menyebutkan permusuhan orang-orang Yahudi terlebih dahulu, baru kemudian permusuhan orang-orang musyrik, padahal kekafiran merupakan satu agama, namun tingkat permusuhan mereka terhadap umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam berbeda-beda. (Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman ) :

"Artinya : Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga mengikuti agama mereka" [Al-Baqarah : 120]

Sejak tarikan nafas umat Islam pertama dalam Islam, orang-orang Yahudi sudah melancarkan permusuhannya kepada umat Islam dan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah aman dari ganguan bangsa Yahudi itu sendiri. Mereka pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadap beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak tiga kali.

Pertama : Percobaan pembunuhan dengan menjatuhkan batu penggiling gandum di kepala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua : Ketika mereka meletakkan racun dalam daging kambing yang diperuntukkan bagi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ketiga : Ketika Labid bin A'sham al-Yahudi -la'natullah 'alaih- menyihirnya.

Lihatlah (kini) bangsa Amerika, ternyata selalu membekali orang-orang Yahudi dengan senjata-senjata penghancur yang tak tanggung-tanggung, supaya dapat digunakan untuk membunuh anak-anak, para wanita dan orang-orang tua muslim bangsa Palestina. Pada saat yang sama bangsa Amerika membikin sibuk dunia dengan pemilihan Presidennya, guna menutupi penyembelihan-penyembelihan masal muslim bangsa Palestina yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi.

Perhatikan pula bangsa Inggris. Mereka juga senantiasa membekali orang-orang Yahudi dengan peluru-peluru berhulu ledak pemusnah yang mengakibatkan terbunuhnya manusia secara biadab dan menimbulkan cacat seumur hidup bagi para pemuda Palestina. Inilah umat yang, baik pemuda, orang tua, anak-anak maupun wanita, menjadi sasaran bantai orang-orang Yahudi dan kaki tangannya.

Lihatlah para kaki tangan Yahudi membikin sibuk umat dengan luka-luka rakyat Palestina yang muslim, di sisi lain mereka menutupi kejahatan orang-orang Yahudi dengan mengadakan pertandingan-pertandingan olah raga yang tiada guna serta acara-acara sia-sia yang dapat meracuni dan menina bobokan umat.

Belumlah kaum Muslimin menyadari bahwa pertarungan kita dengan kaum Yahudi adalah pertarungan aqidah, pertarungan budaya, pertarungan peradaban, pertarungan eksistensi dan pertarungan identitas ? Bukankah kaum Yahudi membakar masjid Al-Aqsha, bukankah mereka menggali lobang-lobang di bawahnya supaya bangunan itu runtuh ? Bukankah mereka membantai kaum Muslimin ketika tengah bersujud pada bulan Ramadhan di masjidnya nabi Ibrahim Al-Khalil 'Alaihis sallam itu ? Bukankah mereka merobek-robek perut wanita hamil, membantai anak-anak balita serta membumi hanguskan segalanya, baik yang hijau basah maupun yang kering kerontang ? Bukankah bangsa Yahudi telah menjadikan masid-masjid di Palestina sebagai toko-toko minuman keras dan tempat-tempat perjudian ? Bukankah mereka juga menjadikan sebagian masjid itu sebagai kandang-kandang ternak dan tempat pembuangan sampah? Apakah setelah itu semua, lalu dikatakan bahwa pertarungan kita melawan Yahudi sekedar pertarungan memperebutkan tanah perbatasan yang penyelesainnya adalah dengan mendirikan sebuah negari kecil Palestina dengan ibukotanya Al-Quds As-Syarief, sebuah negeri yang -menurut anggapan mereka- mampu menghimpun pemeluk tiga agama sekaligus untuk hidup berdampingan ? Apakah mereka tidak memahami bahwa agama yang ada di sisi Allah hanyalah Islam ? Ataukah mereka tidak memahami bahwa Ibrahim 'Alaihis sallam berlepas diri dari kemusyrikan dan paganisme kaum Yahudi dan Nashrani ?

"Artinya : Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi Islam (menyerahkan diri kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik". [Ali Imran : 67]

Sesungguhnya penyelesaian (satu-satunya) yang bangsa Yahudi sendiri sudah memahaminya adalah (penyelesaian melalui) jihad -yang sesuai persyaratan- dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah.

Orang-orang Yahudi tidak menghendaki perdamaian, yang dikehendaki adalah menyerah (takluk)nya umat ini. Yang dikehendaki adalah ruku' dan merendahnya umat ini kepada Yahudi serta hapusnya bahasa jihad dari kaum Muslimin. Supaya mereka menjadi budak, buruh serta orang-orang upahan kaum Yahudi, sehingga dapat dipukul dengan sandal atau dihajar dengan cambuk menurut kehendaknya.

Sungguh konflik sejati antara kita dengan bangsa Yahudi tidak akan berakhir dengan berdirinya sebuah negara kecil yang tidak mengangkat syi'ar Islam dan tidak (pula) menegakkan syari'at Islam. Bagaimana mungkin konflik itu akan berkahir, sedangkan seorang Muslim dalam shalatnya setiap sehari semalam membaca sebannyak tujuh belas kali (kalimat) :

"Ghayril maghdhubi 'alaiyhim wa laa-adh-dhaalliin"

"Artinya : Bukan jalanya orang-orang yang dimurkai Allah (yaitu orang-orang Yahudi) dan bukan pula jalannya orang-orang sesat (orang-orang Nashrani)".

Orang-orang yang dimurkai dalam ayat di atas adalah orang-orang Yahudi. Sedangkan orang-orang sesat adalah orang-orang Nashrani, menurut kesepakatan para ahli Tafsir hingga hari kiamat.

Pertempuran dahsyat yang akan memusnahkan orang-orang Yahudi hingga orang terakhir pasti akan terjadi kelak. Yaitu pertempuran atas dasar Iman, pertempuran yang merupakan peribadatan kepada Allah. Sebagaimana yang disebuitkan dalam hadits (Shahih Bukhari dan Muslim), bahwa :

"Kalian akan memerangi kaum Yahudi, kalian akan memerangi mereka, sampai batu dan pohon berkata : "Wahai Muslim, wahai hamba Allah, ini di belakangku ada orang Yahudi, bunuhlah ia". Kecuali pohon Gharqad, sebab pohon itu adalah pohon kaum Yahudi".

Ini merupakan janji yang benar dari seorang Nabi yang tidak pernah berkata berdasarkan hawa nafsu. Janji tersebut menegaskan hakikat permusuhan (kaum Muslimin) dengan orang Yahudi. Tidak sebagaimana opini yang dibentuk oleh media-media massa yang sesat dan menyesatkan.


[Diambil dari Editorial redaksi majalah salafiyah yaitu Al-Ashalah Edisi 30/Th V/15 Syawal 1421H. dan dinukil kembali dari Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun V/11422H/2001M dari judul Yahudi Musuh Bebuyutan Umat Islam Sampai Mereka Musnah oleh Ahmas Faiz Asifuddin, hal 19-20 & 25]

HUKUM DOKTER MEMBUKA AURAT WANITA DAN BERKHALWAT DENGANNYA UNTUK BEROBAT







Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : "Apa hukum seorang dokter yang membuka aurat wanita dan berdua-duaan dengan mereka untuk berobat?".

Jawaban.
Pertama : Sesungguhnya wanita adalah aurat dan tempat kepuasan kebutuhan bilogis laki-laki. Karena itu dalam segala kondisi tidak diperbolehkan baginya untuk mengizinan laki-laki membukanya walaupun untuk tujuan pengobatan.

Kedua : Apabila tidak ditemukan seorang dokter wanita yang diperlukan maka diperbolehkan baginya untuk berobat kepada dokter laki-laki, dan hal ini lebih mirip dengan keadaan darurat tetapi harus tetap terikat dengan aturan-aturan yang jelas. Oleh karena itu, para ahli fiqih berkata, keadaan darurat memperbolehkan untuk melakukan suatu hal sesuai dengan sekedar kebutuhan. Maka seorang dokter laki-laki tidak diperbolehkan untuk melihat atau memegang aurat pasien wanitanya yang tidak dibutuhkan untuk dilihatnya ataupun dipegang, dan wajib pula bagi wanita tersebut untuk menutup segala sesuatu yang tidak diperlukan untuk dibuka ketika berobat.

Ketiga : Meski wanita dihukumi sebagai aurat, sesungguhnya aurat wanita bermacam-macam tingkatannya. Di antaranya ada aurat berat dan ada aurat yang lebih ringan darinya. Demikian pula sakit yang diderita oleh wanita, ada sakit yang berbahaya yang tidak boleh ditunda pengobatannya dan ada pula penyakit biasa yang tidak berbahaya apabila pengobatannya ditunda hingga mahramnya hadir untuk menemaninya berobat. Sebagaimana wanita juga bermacam-macam, di antara mereka ada wanita yang sudah tua dan wanita muda yang cantik serta ada pula pertengahan antara keduanya. Di antara mereka ada yang datang dalam keadaan tersiksa oleh penyakitnya dan juga di antara mereka ada yang datang ke rumah sakit tanpa terlihat pengaruh sakitnya. Di antara mereka ada yang dibius lokal atau keseluruhan, dan ada yang cukup diberi pil-pil dan semisalnya. Setiap individu dari mereka ada hukumnya tersendiri.

Atas dasar semua itu maka berdua-duan dengan wnaita selain mahram adalah haram secara syara' meskipun bagi dokter laki-laki yang mengobatinya berdasarkan hadits :

"Artinya : Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan".

Maka harus hadir seseorang bersama keduanya baik suaminya ataupun salah satu mahramnya yang laki-laki. Dan apabila tidak bisa menghadirkan kerabat dekat yang wanita sedangkan sakitnya membahayakannya dan pengobatannya tidak biasa ditunda-tunda lagi, maka paling tidak harus dengan kehadiran seorang perawat wanita untuk menjaga agar tidak terjadi 'khalwat' yang terlarang.

Keempat : Adapun soal tentang hukum aurat anak perempuan yang masih kecil, maka seorang anak perempuan apabila belum berumur tujuh tahun dihukumi tidak mempunyai aurat. Apabila telah mencapai umur tujuh tahun maka ia mempunyai aurat sebagaimana dijelaskan oleh para ahli fiqih meskipun auratnya berbeda dengan aurat wanita yang lebih tua umurnya.

[Fatawa wa Rasailusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 10/12]


KAPAN DIPERBOLEHKAN MEMBUKA AURAT

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : "Kapan aurat diperbolehkan untuk
dibuka ?".

Jawaban.
Aurat hanya boleh dibuka karena adanya penyakit yang membahayakan.

Adapun ungkapan : "Boleh membuka aurat untuk pengobatan" artinya boleh hingga aurat yang berat hanya saja aurat yang berat ini hanya diperbolehkan untuk dibuka dengan sebab suatu penyakit yang sangat berbahaya dan ditakutkan bisa menyebabkan meninggal atau semakin parahnya penyakit tersebut. Adapun sakit yang ringan, menurut saya tidak termasuk dalam ungkapan tersebut. Yang dimaksudkan disini adalah melihat aurat wanita dan laki-laki, dengan catatan bahwa yang diperbolehkan melihat aurat wanita hanyalah kaum wanita sendiri.

Memang pada dasarnya aurat wanita tetap dianggap sebagai aurat di hadapan wanita lain, akan tetapi lebih ringan dibandingkan dengan di hadapan lelaki, karena penyebab timbulnya fitnah tidak ada dalam diri wanita apabila melihat pada aurat wanita lain.

Maksud dari pengobatan di sini adalah pengobatan dari suatu penyakit. Sedangkan untuk tujuan menambah kekuatan, -dan dalam masalah ini banyak orang terlalaikan-, maka misalnya seorang lelaki membuka paha lelaki lain karena sakit yang ringan atau untuk tujuan menambah kekuatan, merupakan suatu kerusakan dan kejahatan yang besar. Ini telah menjadi hal yang biasa dilakukan oleh manusia, tetapi ini adalah kebiasaan yang dilarang oleh syara', meski banyak dilakukan oleh manusia.

[Fatawa wa Rasailusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/152]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita -3, hal 190-193, Darul Haq]

hukum televisi

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimanakah hukum Televisi sekarang ini ?”

Jawab:

"Televisi sekarang ini tidak diragukan lagi keharamannya. Sesungguhnya televisi merupakan sarana semacam radio dan tape recorder dan ia seperti nikmat-nikmat lain yang Allah karuniakan kepada para hambaNya.

Sebagaimana Allah telah berfirman: "Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya." Pendengaran adalah nikmat, penglihatan adalah nikmat, demikian juga kedua bibir dan lisan.

Akan tetapi kebanyakan nikmat-nikmat ini berubah menjadi adzab bagi pemiliknya karena mereka tidak mempergunakannya untuk hal-hal yang dicintai Allah. Radio, televisi dan tape recorder saya kategorikan sebagai nikmat, akan tetapi kapankah ia menjadi nikmat ? yaitu ketika ia diarahkan untuk hal-hal yang bermanfaat untuk umat. Televisi dewasa ini 99 % di dalamnya menyiarkan kefasikan, pengumbaran hawa nafsu, kemaksiatan, lagu-lagu haram dan seterusnya, dan 1 % lagi disiarkan hal-hal yang terkadang bisa diambil manfaatnya oleh sebagian orang.

Maka faktor yang menentukan adalah hukum umum (faktor mayoritas yang ada dalam siaran televisi tadi), sehingga ketika didapati suatu negeri Islam sejati yang meletakkan manhaj / metode ilmiah yang bermanfaat bagi umat (dalam siaran televisi) maka ketika itu saya tidak hanya mengatakan televisi itu boleh hukumnya, bahkan wajib.”

Hubungan As-Sunnah Dengan Al-Qur'an


Ditinjau dari hukum yang ada maka hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur'an, sebagai berikut :
As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur'an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur'an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati perintah dan larangan. Ada perintah shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua serta banyak lagi yang lainnya.
Terkadang As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur'an, atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dari ayat-ayat Al-Qur'an yang muthlaq dan 'am. Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur'an.
Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur'an dengan firman-Nya.
"Artinya : .Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan". [An-Nahl : 44]
Diantara contoh As-Sunnah men-takhshish Al-Qur'an adalah :
"Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan". [An-Nisaa : 11]
Ayat ini ditakhshish oleh As-Sunnah :
para nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai sadaqah.
tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau sebalinya, dan..
pembunuh tidak mewariskan apa-apa [Hadits Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah]
As-Sunnah mentaqyid kemutlakan Al-Qur'an.
"Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.." [Al-Maidah : 38].
Ayat ini tidak menjelaskan sampai dimanakah batas tangan yang akan di potong. Maka dari As-Sunnahlah di dapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan. (Subulus Salam 4 : 53-55)

As-Sunnah sebagai bayan dari mujmal Al-Qur'an.
Menjelaskan tentang cara shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat". [Hadits Riwayat Bukhari]
Menjelaskan tentang cara haji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu". [Hadits Riwayat Muslim].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang perlu penjelasan dari As-Sunnah karena masih mujmal.

Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum-hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an. Diantara hukum-hukum itu ialah tentang haramnya keledai negeri, binatang buas yang mempunyai taring, burung yang mempunyai kuku tajam, juga tentang haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.

Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur'an dengan As-Sunnah.

Imam Syafi'i berkata : "Apa-apa yang telah disunahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana Allah mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya.
"Artinya : .Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allahlah kembali semua urusan". [Asy-Syuura : 52-53].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan hukum yang terdapat dalam Kitabullah, dan beliau menerangkan atau menetapkan pula hukum yang tidak terdapat dalam Kitabullah. Dan segala yang beliau tetapkan pasti Allah mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah menjelaskan barangsiapa yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan barangsiapa yang tidak mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat kepada-Nya, yang demikian itu tidak boleh seorang mahlukpun melakukannya. Dan Allah tidak memberikan kelonggaran kepada siapapun untuk tidak mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Ar-Risalah hal. 88-89).

Ibnul Qayyim berkata : " Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam Al-Qur'an, maka hal itu merupakan tasyri' dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang wajib bagi kita mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri' yang demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu sebagai perwujudan pelaksanaan perintah Allah supaya kita mentaati Rasul-Nya. Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak ditaati, maka ketaatan kita kepada Allah tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap apa-apa yang sesuai dengan Al-Qur'an dan terhadap apa-apa yang beliau tetapkan hukumnya yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an.

Allah subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah". [An-Nisaa : 80].
Jadi ringkasnya hubungan Al-Qur'an dengan As-Sunnah adalah sebagai berikut.
Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur'an.
Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal di dalam Al-Qur'an.
Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an.

Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah 1/3


HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID'AH
[Diambil dari kitab "Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlul Ahwa wal Bida’ " cetakan Maktabah Al-Ghuroba Al-Atsariah jilid I hal 373-388]

Oleh
Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili

Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]


Pernikahan dengan Ahlul Bid’ah terlarang secara global menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena akan memberi dampak negatif yang besar, dan bertentangan dengan hal-hal yang disepakati dalam syariat, yaitu: tidak ber-wala’ (loyalitas), tidak mencintai mereka (Ahlul Bid’ah), wajib mengisolir mereka, dan menjauhi mereka (Penguraian masalah ini akan dijelaskan dengan membawakan riwayat-riwayat yang menunjukan hal itu, yaitu ucapan-ucapan para Salaf dan contoh-contoh sebagian kerusakan yang ditimbulkan karena pernikahan dengan Ahlul Bid’ah.)

Hukumnya haram mengadakan pernikahan dengan mereka dan menikahi wanita-wanita mereka. Tentang hukum kepastian rusak dan sahnya akad-akad pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tergantung dengan jauh dekatnya mereka terhadap agama. Oleh karena itu hukum terhadap mubtadi’ (Ahlul Bid’ah, yaitu orang yang mengada-adakan atau menambahi dalam perkara agama yang tidak ada contoh dari Rasulullah, ed.) yang telah sampai ke derajat kufur disebabkan karena kebid’ahannya tidaklah sama terhadap orang yang kebid’ahannya belum sampai ke derajat kufur, sebagaimana juga berbedanya hukum pernikahan mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah dan pernikahan Ahlus Sunnah dengan para wanita mereka di sebagian keadaan.

Berikut ini perincian hukum tentang masalah di atas menurut keadaan yang disebutkan tadi:

Adapun hukum pernikahan Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran adalah haram secara mutlak. Ini disebabkan kekufuran dan kemurtadan mereka dari agama. Oleh karena itu Ahlus Sunnah tidak halal menikahi wanita-wanita mereka. Demikian juga sebaliknya, mereka haram menikahi para wanita Ahlus Sunnah. Hal ini dijelaskan dalam banyak dalil, dan Ahlus Sunnah telah ijma’ (sepakat) tentang keharaman menikah dengan orang-orang kafir dan kaum musyrikin selain Ahlul Kitab dengan dua keadaan tadi (yaitu: menikah dengan mereka dan dinikahi mereka).

Adapun keharaman seorang laki-laki muslim menikahi wanita kafir lagi musyrik adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu." [QS. Al-Baqarah: 221]

Juga firman Allah:
"Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir." [QS. Al-Mumtahanah: 10]

Dua ayat di atas menunjukkan keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah secara umum bagi kaum muslimin. Dan, yang dikecualikan Allah hanya wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya:

"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu." [QS. Al-Maidah: 5]

Sehingga, hal-hal yang Allah beri keringanan padanya, seperti (laki-laki dari Ahlus Sunnah) menikahi para wanita Ahlul Kitab, adalah boleh. Adapun selain mereka seperti wanita-wanita musyrik, maka hukum keharamannya tetap berlaku secara umum, seperti wanita-wanita penyembah patung dan berhala, atau bintang-bintang dan api. Sehingga, wanita-wanita Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran, hukum (pernikahan)-nya sama dengan wanita-wanita tadi, walau mereka (wanita-wanita Ahlul Bid’ah itu) mengaku sebagai muslimah.

Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar dalam tafsir-nya ayat pertama tadi [2: 221], "Ini adalah pengharaman dari Allah yang dibebankan kepada kaum mukminin, agar mereka tidak menikahi para wanita musyrikah dari (golongan) penyembah berhala. Walaupun secara umum tampaknya wanita-wanita musyrikah dari Ahlul Kitab tergolong kepadanya, tetapi ada pengecualian berupa kebolehan menikah dengan wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya: "(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya." [Al-Maidah: 5](Tafsir Ibnu Katsir 1/257).

Banyak ulama yang menukil ijma’ para ulama yang mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrikah selain wanita-wanita Ahlul Kitab.

Ibnu Qudamah berkata, "Dan semua orang-kafir selain Ahlul Kitab, seperti orang yang menyembah apa yang dia anggap baik dari berhala-berhala, batu-batu, pohon-pohon, dan hewan-hewan, maka tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang keharaman menikahi wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan-sembelihan mereka." [Al-Mughni 9/548]

Syikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kandungan pembicaraannya tentang Qadariyah (kelompok yang menolak takdir, ed.) dan hukum-hukum tentang mereka, "Dan adapun kaum musyrikin, maka umat ini telah sepakat terhadap keharaman menikahi wanita-wanita mereka dan memakan makanan mereka." [Majmu’ Fatawa 8/100]

Dr. Wahbah Az-Zahaili berkata tentang kesimpulan masalah ini dalam pembahasannya, "Telah sepakat tidak halal untuk menikahi wanita yang tidak memiliki kitab, seperti para penyembah berhala dan penyembah api (Majusi), karena tidak ada satu kitab pun ditangan para pengikutnya sekarang dan kita tidak yakin kalau mereka memilikinya sebelumnya, maka kita harus berhati-hati." (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuha, Dr. Wahbah Az-Zahaili 7/152).

Dengan ini, tegaslah keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah selain Ahlul Kitab, menurut keterangan dua ayat tadi dan ijma’ para ulama terhadap hukum itu.

Sudah pasti termasuk ke dalam keharaman itu, keharaman menikahi para wanita Ahlul Bid’ah yang musyrikah seperti wanita-wanita Jahmiyah, Qadariyah, dan Rafidlah. Sebab, firqah-firqah (kelompok) ini telah dihukumi sebagai firqah yang kufur dan murtad. Yang lebih keras dari keharaman itu adalah keharaman menikahi wanita-wanita dari firqah Bathiniyah seperti Daruliz, Nushairiyah, dan lain-lain yang tergolong kelompok zindiq, seperti Hululiyah dan Tanasukhiyah, karena para pengikut kolompok-kelompok ini adalah orang-orang musyrik lagi telah keluar dari Islam (sudah murtad). Tidak halal menikahi wanita-wanita mereka sama sekali, menurut keterangan yang telah saya sampaikan, (ini ucapan Dr. Ibrahim Ruhaili, ed.) berupa ucapan-ucapan para ulama yang khusus berbicara tentang mereka, dengan menambahkan masuknya keharaman menikahi para wanita mereka. Hal itu, di bawah keumuman dalil yang berisikan kepastian haramnya menikahi wanita-wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita Ahlul Kitab, yang telah disebutkan di atas.

Inilah sebagian ucapan-ucapan para ulama tentang hal itu:
Ibnu Baththah meriwayatkan dari Thalhah bin Musharaf (Thalhah bin Musharraf bin ‘Amr bin Ka’b Al-Yami Al-Kufi, dia seorang Tsiqah (dipercaya), Qari lagi terhormat. Wafat tahun 112 H. Lihat At-Taqrib hal. 283) rahimahullah, bahwa dia berkata, "Tidak boleh menikahi para wanita dari Rafidlah, tidak boleh memakan sembelihan mereka, karena mereka adalah orang-orang murtad." [Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal. 161]

Dari Sahl bin Abdillah, dia pernah ditanya tentang hukum shalat di belakang Mu’tazilah dan menikah dengan mereka, maka dia berkata, "Tidak. Tidak ada kemuliaan bagi mereka, mereka adalah orang-orang kafir." [Tafsir Al-Qurthubi, 7/141]

Al-Baghawi menukil di akhir kitabnya, Al-Farqu Bainal Firaq, beberapa ucapan para Imam Islam, dari para tokoh empat madzhab terhadap sebagian hukum-hukum firqah-firqah tadi.

Maka beliau menyebutkan, "Kelompok ekstrim dari kalangan Rafidlah As-Siba’iyah, Bayaniyah, Muniriyah, Mansyuriyah, Janahiyah, Khithabiyah, Hululiyah, Bathiniyah, dan Yazidiyah dari kalangan Khawarij dan Maimunah." Kemudian berkata, "Hukum terhadap kelompok-kelompok yang kita sebutkan tadi, terhadap mereka diperlakukan hukum orang-orang yang murtad dari agama. Tidak halal memakan sembelihan-sembelihan mereka, dan tidak halal menikahi para wanita mereka." [Al-Farqu Bainal Firaq hal. 357]

Abul Hamid Al-Ghazali berkata ketika membicarakan hukum-hukum terhadap kelompok Bathiniyah setelah menukil madzhab mereka dengan rinci dalam kitab Fadla’ilul Bathiniyah, "Adapun menikahi para wanita mereka haram hukumnya, sebagaimana tidak bolehnya menikahi wanita yang murtad. Tidak halal menikahi wanita Bathiniyah -secara keyakinan- disebabkan kekafiran mereka yang telah kita sebutkan sebabnya, seperti pendapat-pendapat (mereka yang, ed.) menjijikkan yang telah kita rinci. Kalau wanita itu seorang yang baik agamanya kemudian menelan madzhab mereka, maka gugurlah nikah di waktu itu juga." [Fadla’ilul bathiniyah hal. 157]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di awal pembicaraannya tentang kelompok Rafidlah ekstrim dan kelompok ekstrim lainnya (yang ekstrim, ed.) terhadap Ali radliallahu ‘anhu, seperti Nushairiyah dan Ismailiyah, "Semua mereka ini adalah orang-orang kafir yang lebih kufur dari Yahudi dan Nashara. Jika tidak tampak hal itu dari salah seorang mereka, maka dia termasuk orang-orang munafik yang mereka berada dikerak neraka. Siapa yang menampakkan hal itu, maka dia lebih keras kekafirannya dari orang kafir, maka dia tidak boleh tinggal di antara kaum muslimin, tidak dengan jizyah (pajak atau denda) dan tidak dengan dzimmah (orang kafir yang dilindungi di negeri muslim, ed.), dan tidak halal menikahi para wanita mereka, tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka, karena mereka adalah orang-orang murtad, bahkan termasuk orang-orang murtad yang sangat jahat." [Maj’mu Fatawa 28/474-475]

Beliau berkata tentang kelompok Nushairiyah, "Para ulama Islam telah sepakat bahwa tidak boleh menikahi mereka, dan tidak boleh seorang lelaki menikahkan para maula-nya (baca: budaknya, ed.) (yang wanita) dengan mereka, dan jangan seorang wanita menikah dengan mereka, dan tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka." [Majmu’ Fatawa 35/154]

Adapun keharaman menikahnya seorang wanita muslimah dengan pria musyrik yang sama saja apakah dia seorang mubtadi’ atau selainnya, maka hujjah dalam hal itu jelas dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) dan ijma’ umat Islam.

Allah Ta’ala berfirman:
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman." [Al-Baqarah: 221]

Juga firman Allah: "Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka." [Al-Mumtahanah: 10]

Dua ayat ini menjelaskan keharaman menikahkan wanita muslimah dengan pria kafir dan musyrik secara mutlak, sama saja apakah dia (sang pria) seorang Ahlul Kitab, atau penyembah berhala yang tidak memiliki kitab. Di atas itu terjadilah ijma’ umat ini, sebagaimana yang dinukil Al-Qurthubi dalam ucapannya, "Dan umat ini telah ijma’ bahwa seorang pria musyrik tidak boleh menikahi seorang wanita mukminah sama sekali, karena itu akan menimbulkan kerendahan Islam." [Tafsir Al-Qurthubi 3/72]

Adab-Adab Ikhtilaf

Adab-Adab Ikhtilaf 
Islam telah meletakkan sendi-sendi adab yang tinggi bagi seorang muslim yang berjalan diatas manhaj Sunnah, dalam pergaulannya bersama saudara-saudaranya ketika berselisih faham dengan mereka dalam masalah-masalah ijtihadiyah. Cukuplah kiranya, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pembawa rahmat dan petunjuk.

"Artinya : Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq-akhlaq yang mulia". [Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam 'Adabul Mufrad' dan Imam Ahmad. Lihat 'Silsilah Ash-shahihah 15']

Di antara adab-adab itu ialah :

[1]. Lapang Dada Menerima Kritik Yang Sampai Kepada Anda Untuk Membetulkan Kesalahan, Dan Hendaklah Anda Ketahui Bahwa Ini Adalah Nasehat Yang Dihadiahkan Oleh Saudara Seiman Anda.

Ketahuilah ! Bahwa penolakan anda terhadap kebenaran dan kemarahan anda karena pembelaan terhadap diri adalah kesombongan -A'aadzanallah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain". [Hadits Riwayat Muslim]

Banyak sekali contoh sekitar adab yang mulia ini yang telah dijelaskan oleh para salafus shalih, dianaaranya adalah :

Kisah yang diceritakan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Bar, beliau berkata : "Banyak orang telah membawa berita kepada saya, berasal dari Abu Muhammad Qasim bin Ashbagh, dia berkata : "Ketika saya melakukan perjalanan ke daerah timur, saya singgah di Qairawan. Disana saya mempelajari hadits Musaddad dari Bakr bin Hammad. Kemudian saya melakukan perjalanan ke Baghdad dan saya temui banyak orang (Ulama) disana. Ketika saya pergi (dari Baghdad), saya kembali lagi kepada Bakr bin Hammad (di Qairawan-red) untuk menyempurnakan belajar hadits Musaddad.

Suatu hari saya membacakan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dihadapan beliau (untuk mempelajarinya) :

"Artinya : Sungguh telah datang satu kaum dari Muldar yang (Mujtaabin Nimar)"
Beliau (Bakr bin Hammad) berkata kepadaku "Sesungguhnya yang benar adalah Mujtabits Tsimar. Aku katakan padanya Mujtaabin Nimar, demikianlah aku membacanya setiap kali aku membacakannya di hadapan setiap orang yang aku temui di Andalusia dan Irak"

Beliau berkata kepadaku : "Karena enngkau pergi ke Irak, maka kini engkau (berani) menentang aku dan menyombongkan diri dihadapanku ?" Kemudian dia berkata kepadaku (lagi) : "Ayolah kita bersama-sama bertanya kepada syaikh itu (menunjuk seorang syaikh yang berada di Masjid), dia punya ilmu dalam hal seperti ini"

Kami pun pergi ke syaikh tersebut dan kami menanyainya tentang hal ini.

Beliau berkata : "Sesungguhnya yang benar adalah [Mujtaabin Nimar]" seperti yang aku baca. Artinya adalah : Orang-orang yang memakai pakaian, bagian depannya terbelah, kerah bajunya ada di depan. Nimar adalah bentuk jama' dari Namrah. Bakr bin Hammad berkata sambil memegangi hidungnya : "Aku tunduk kepada al-haq, aku tunduk kepada al-haq !" lalu ia pergi. [Mukhtasyar Jaami' Bayanil Ilmi wa Fadlihi, hal.123 yang diringkas oleh Syaikh Ahmad bin Umar al-Mahmashaani]

Saudaraku, cobalah anda perhatikan -semoga Allah senantiasa menjaga anda- betapa menakjubkan sikap Adil ini ! Alangkah perlunya kita pada sikap adil seperti sekarang ! Akan tetapi mana mungkin hal itu terjadi kecuali bagi orang yang ikhlas niatnya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Inilah dia Imam Malik rahimahullah (pada masa hidupnya-red) pernah berkata : "Tidak ada sesuatupun yang lebih sedikit dibandingkan dengan sifat adil pada zaman sekarang ini" [Mukhtasyar Jaami' Bayanil Ilmi wa Fadlihi, hal . 120 yang diringkas oleh Syaikh Ahmad bin Umar al-Mahmashaani]

Maka apa lagi dengan zaman sekarang ini yang sudah demikian berkecamuknya hawa nafsu!! -Kita berlindung kepada Allah dari fitnah yang menyesatkan-.

[2]. Hendaklah Memilih Ucapan Yang Terbaik Dan Terbagus Dalam Berdiskusi Dengan Sesama Saudara Muslim.

Allah berfirman.

"Artinya : Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia" [Al-Baqarah : 83]

Dari Abu Darda' Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat dibanding akhlaq yang baik, dan sesungguhnya Allah murka kepada orang yang keji dan jelek (akhlaqnya)". [Hadits Riwayat Tirmidzi).

[3]. Hendaklah Diskusi Yang Dilakukan Terhadap Saudara Sesama Muslim, Dengan Cara-Cara Yang Bagus Untuk Menuju Suatu Yang Lebih Lurus.

Yang menjadi motif dalam berdiskusi hendaklah kebenaran, bukan untuk membela hawa nafsu yang sering memerintahkan pada kejelekan. Akhlak anda ketika berbicara terletak pada keikhlasan anda. Jika diskusi (tukar fikiran) sampai ketingkat adu mulut, maka katakanlah : "salaam/selamat berpisah !" dan bacakanlah kepadanya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Saya adalah pemimpin di sebuah rumah di pelataran sorga bagi orang yang meninggalkan adu mulut meskipun ia benar" [Hadits Riwayat Abu Daud dari Abu Umamah al-Bahily]

Al-Hafizh Ibnu Abdil Bar menyebutkan dari Zakaria bin Yahya yang berkata : "Saya telah mendengar Al-Ashma'i berkata : "Abdullah bin Hasan berkata : Adu mulut akan merusak persahabatan yang lama, dan mencerai beraikan ikatan (persaudaraan) yang kuat, minimal (adu mulut) akan menjadikan mughalabah (keinginan untuk saling mengalahkan) dan mughalabah adalah sebab terkuat putusnya ikatan persaudaraan. [Mukhtasyar Jaami' Bayan al-Ilmi wa Fadlihi hal. 278]

Dari Ja'far bin Auf, dia berkata : saya mendengar Mis'ar berkata kepada Kidam, anaknya :

Kuhadiahkan buatmu wahai Kidam nasihatku
Dengarlah perkataan bapak yang menyayangimu
Adapun senda gurau dan adu mulut, tinggalkanlah keduanya
Dia adalah dua akhlak yang tak kusuka dimiliki teman
Ku pernah tertimpa keduanya lalu akupun tak menyukainya
Untuk tetangga dekat ataupun buat teman

Para salaf shalih telah membuat permisalan yang sangat cemerlang tentang etika ikhtilaf (perselisihan pendapat), diantaranya adalah :

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Hushain bin Abdurrahman, dia berkata :

"Saya berada di tempat Said bin Jubair, lalu ia berkata : "Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh tadi malam ?
Saya jawab : "Saya, tetapi ketahuilah bahwa saya tidak dalam keadaan shalat, saya kena sengat binatang berbisa!".
Sa'id bertanya : "Apa yang kau perbuat ?"
Saya menjawab : "Saya melakukan ruqyah (baca-bacaan sebagai obat)"
Said bertanya : "(Dalil) apakah yang membawamu untuk melakukan itu ?"
Saya jawab : "Sebuah hadits yang diceritakan kepada kami oleh As-Sya'bi".
Sa'id berkata :"Apa yang diceritakan Asy-Sya'bi kepadamu ?"
Saya jawab : "Dia bercerita kepada kami dari Buraidah bin Al-Hushain bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada ruqyah kecuali (pada penyakit yang timbul) dari mata (orang yang dengki) dan bisa (racun) hewan"

Dia berkata : "Sungguh bagus orang yang berpedoman pada apa (riwayat) yang ia dengar, akan tetapi Ibnu Abbas menceritakan kepada kami bahwa .....(sampai akhir hadits)"

Perhatikanlah adab mulia yang dimiliki pewaris ilmunya Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ini, ia tidak memaki Hushain bin Abdurrahman (orang yang berselisih dengannya), bahkan menganggapnya baik karena Hushain mengamalkan dalil yang ia ketahui. Kemudian baru setelah itu. Sa'id bin Jubair menjelaskan hal yang lebih utama (untuk dilakukan) dengan cara yang lembut dan dikuatkan dengan dalil.

Akhirnya melalui hadits ini kita dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.

[1] Ikhtilaf, meskipun ia sudah menjadi perkara yang ditakdirkan oleh Allah akan tetapi wajib bagi kita untuk menjauhinya dan tidak punya keinginan untuk berikhtilaf pada suatu yag boleh selama kita masih ada jalan untuk menghindarinya.

[2] Perkara-perkara yang diperbolehkan ijtihad padanya, memiliki beberapa syarat dan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh ilmu dan keikhlasan bukan diatur oleh perkiraan dan kemauan hawa nafsu.

[3] Ahlu Sunnah memiliki manhaj dalam memahami ikhtilaf yang diambil dari Al-Qur'an dan Sunnah. Diantara adab-adabnya adalah mengikuti akhlak para salaf shalih dalam pergaulan dengan sesama mereka ketika terjadi ikhtilaf.

[4] Tidak boleh bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menuduh saudaranya memisahkan diri dari manhaj Ahlus Sunnah kecuali berdasarkan ilmu dan keadilan, bukan berdasarkan kebodohan dan kezhaliman.

[5] Tidak mencampur adukkan antara masalah-masalah ijtihadiyah dengan masalah iftiraq (perpecahan) demikian juga tidak boleh mencampur-adukkan antara orang yang membuat bid'ah juz'iyah dengan orang yang meninggalkan sunnah dengan bid'ah kulliyah.

[Demikianlah, semoga tulisan terjemahan dari majalah al-Ashalah ini dapat memberikan tambahan pemahaman kepada pembaca sekalian tentang Fiqh Ikhtilaf atau perbedaan pendapat]


[Disadur dari Majalah Al-Ashalah tgl.15 Dzul Hijjah 1416H, edisi 17/Th III hal. 78-89, karya Salim bin Shalih Al-Marfadi, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 06/Tahun V/1422H/2001M, hal. 30-32 Adab-AdaB Ikhtilaf merupakan bagian ketiga dari tiga bagian, diterjemahkan oleh Ahmad Nusadi.]